PERTEMUAN 9
BADAN LAYANAN UMUM
A.
Pengertian BLU
Badan Layanan Umum (disingkat BLU) adalah instansi di lingkungan
Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan
dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiens8i dan
produktifitas. BLU terdapat di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. BLU di daerah disebut Badan Layanan Umum Daerah (disingkat BLUD).
B.
Tujuan dan Asas BLU
1.
Tujuan
BLU
bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan
fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan
produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.
2.
Asas
a.
BLU beroperasi sebagai unit kerja K/L/Pemda
untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan
yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan.
b.
BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan
K/L / Pemda dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari K/L / Pemda
sebagai instansi induk.
c.
Menteri/pimpinan lembaga/ gubernur/
bupati/walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan
pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang
dihasilkan.
d.
Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung
jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan
kepadanya oleh menteri/ pimpinan lembaga/ gubernur/ bupati/ walikota.
e.
BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa
mengutamakan pencarian keuntungan.
f.
Rencana kerja dan anggaran(RKA-BLU) serta
laporan keuangan dan kinerja BLU (LKK-BLU) disusun dan disajikan sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran (RKA-KLPD) serta laporan
keuangan dan kinerja (LKK-KLPD) K/L / Pemda.
g.
BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum
sejalan dengan praktek bisnis yang sehat.
C.
Persyaratan, Penetapan, Pencabutan BLU
1.
Persyaratan
Suatu satuan
kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU
apabila memenuhi persyaratan: substantif, teknis, dan administratif.
a.
Persyaratan
Substantif
Persyaratan
substantif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan
menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan:
•
Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum
•
Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk
tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau
•
Pengelolaan dana khusus dalam rangka
meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
b.
Persyaratan
Teknis
Persyaratan
teknis terpenuhi apabila:
•
kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan
fungsi(TUPOKSI)nya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU
sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai
dengan kewenangannya; dan
•
kinerja keuangan satuan kerja instansi yang
bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan
penetapan BLU.
c.
Persyaratan
Administratif
Persyaratan
administratif terpenuhi apabila instansi ybs menyajikan dokumen sbb:
·
pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan
kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
·
pola tata kelola;
·
rencana strategis bisnis;
·
laporan keuangan pokok;
·
standar pelayanan minimum; dan
·
laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia
untuk diaudit secara independen
Dokumen
(kelengkapan administratif) disampaikan oleh unit instansi berkenaan kepada
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk mendapatkan persetujuan
(rekomendasi) sebelum disampaikan kepada Menteri Keuangan/Gubernur /Bupati
/Walikota, sesuai dengan kewenangannya.
Persyaratan
administratif diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan /gubernur
/bupati /walikota sesuai dengan kewenangannya.(see PMK-07/PMK.02/2006)
2.
Penetapan Status BLU
a.
Menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD mengusulkan
instansi pemerintah yang memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan
administratif untuk menerapkan PPK-BLU kepada Menkeu/gubernur/ bupati/walikota.
b.
Menkeu/gubernur/bupati/walikota menetapkan
instansi pemerintah yang telah memenuhi persyaratan untuk menerapkan PPK-BLU.
Status BLU
a.
Status BLU secara penuh → diberikan apabila
seluruh persyaratan telah dipenuhi dengan memuaskan.
b.
Status BLU-Bertahap → diberikan apabila
persyaratan substantif dan teknis telah terpenuhi, namun persyaratan
administratif belum terpenuhi secara memuaskan
3.
Pencabutan Status BLU
Penerapan
PPK-BLU berakhir apabila:
a.
dicabut oleh Menkeu/ gubernur /bupati/ walikota
sesuai dengan kewenangannya;
b.
dicabut oleh Menkeu /gubernur /bupati/ walikota
berdasarkan usul dari menteri/ pimpinan lembaga/ kepala SKPD, sesuai dengan
kewenangannya; atau
b.
berubah statusnya menjadi badan hukum dengan
kekayaan negara yang dipisahkan.
D.
Standard an Tarif Layanan
1.
Standar Layanan
a.
Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU
menggunakan standar pelayanan minimum (SPM) yang ditetapkan oleh menteri
/pimpinan lembaga/gubernur/ bupati/ walikota.
b.
SPM dapat diusulkan oleh instansi pemerintah
yang menerapkan PPK-BLU.
c.
SPM harus mempertimbangkan kualitas layanan,
pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan
layanan.
2.
Tarif Layanan
a.
BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat
sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan.
b.
Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan
ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per
unit layanan atau hasil per investasi dana.
c.
Tarif layanan diusulkan oleh BLU kepada
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya.
d.
Usul tarif layanan dari menteri/pimpinan
lembaga/kepala SKPD selanjutnya ditetapkan oleh Menkeu /gubernur/ bupati/
walikota, sesuai dengan kewenangannya.
e.
Tarif layanan harus mempertimbangkan:
·
kontinuitas dan pengembanganlayanan;
·
daya beli masyarakat;
·
asas keadilan dan kepatutan; dan
·
kompetisi yang sehat.
E.
Pengelolaan Keuangan BLU
PPK-BLU adalah
pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan
untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa, diatur dalam PP No. 23 / 2005, sebagai pengecualian dari
ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.
PERTEMUAN 10
PENGADAAN BARANG/JASA
A.
Pengertian dan Ruang Lingkup
1.
Pengertian
Pengertian pengadaan barang dan jasa
secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu berarti
tawaran untuk mengajukan harga dan memborong pekerjaan atas penyediaan
barang/jasa. Pasal 1 angka 1 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah menentukan bahwa pengadaan barang dan jasa
pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang dan jasa yang dibiayai dengan
anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah, baik yang dilaksanakan secara
swakelola maupun oleh penyedia barang dan jasa.
Setelah Keputusan Presiden Nomor 80
Tahun 2003 dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pasal 1 angka 1 Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
menjelaskan Pengadaan Barang dan jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang
dan jasa oleh kementerian/ Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi
lainnya selanjutnya disebut K/D/L/I yang prosesnya dimulai dari perencanaan
kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang dan
jasa.
2.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup pengadaan barang dan jasa berdasarkan
Pasal 2 Perpres No. 54 Tahun 2010 meliputi:
Ø Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang
pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/ APBD.
Ø Pengadaan untuk investasi di lingkungan Bank
Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan
Usaha milik Daerah (BUMD) yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya
dibebankan pada APBN/APBD. Investasi di sini merupakan pembelanjaan modal
sebagai penambahan aset atau untuk peningkatan kapasitas instansi tersebut.
Ø Pengadaan barang dan jasa yang seluruhnya atau
sebagian dananya bersumber dari pinjaman atau hibah. Pinjaman atau hibah dalam
hal ini berasal dari luar negeri yang diterima oleh pemerintah pusat atau
daerah.
B.
Dasar Hukum
·
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
·
Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
·
Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
·
Peraturan Presiden
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (telah 4 kali perubahan)
·
Inpres No. 1 Tahun 2015 Tentang Percepatan Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
·
Perka LKPP
C.
JENIS PENGADAAN B/J (Psl 4 Perpres 54/2010)
·
Barang. Setiap benda baik berwujud maupun tidak
berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan,
dipergunakan atau dimanfaatkan oleh pengguna barang
·
Pekerjaan
Konstruksi. Seluruh pekerjaan
yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud
fisik lainnya
·
Jasa Lainnya. Jasa yang membutuhkan kemampuan tertentu
yang mengutamakan keterampilan (skillware) dalam suatu sistem tata
kelola untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan/atau penyediaan jasa selain jasa
konsultansi, pekerjaan konstruksi dan
pengadaan barang.
·
Jasa Konsultasi. Jasa layanan profesional yang membutuhkan
keahlian tertentu diberbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah
pikir (brainware)
D.
Tata Nilai PBJ
Prinsip Prinsip Pengadaan
Pengadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a. efisien;
b. efektif;
c. transparan;
d. Terbuka
e. Bersaing
f. adil/tidak diskriminatif
g. akuntabel
E.
Etika Pengadaan
Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa harus mematuhi etika sebagai berikut:
·
melaksanakan tugas
secara tertib, disertai rasa tanggung jawab
untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan Pengadaan Barang/Jasa;
·
bekerja secara
profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan
Barang/Jasa yang menurut sifatnya harus
dirahasiakan untuk mencegah terjadinya
penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
·
tidak saling
mempengaruhi baik langsung maupun tidak
langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;
·
menerima dan
bertanggung jawab atas segala keputusan yang
ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;
·
menghindari dan
mencegah terjadinya pertentangan
kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses Pengadaan
Barang/Jasa;
·
menghindari dan
mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan
Barang/Jasa;
·
menghindari dan
mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan
pribadi, golongan atau pihak lain yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan
·
Tidak menerima,
tidak menawarkan atau tidak menjanjikan
untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun
yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.
F.
Pihak PBJ
Sesuai
dengan Perpres 54/2010 dan Perpres 70/2012. Berikut keterangan tentang para
pihak dalam pengadaan barang/jasa pemerintah:
·
PA – Pengguna Anggaran
·
KPA – Kuasa Pengguna Anggaran
·
ULP – Unit Layanan Pengadaan
·
PP – Pejabat Pengadaan
·
PPK – Pejabat Pembuat Komitmen
·
PPHP – Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
·
PBJ – Penyedia Barang/Jasa
PERTEMUAN 11
PENGADAAN BARANG JASA SWAKELOLA
A.
Garis Besar PBJ
Garis Besar PBJ Melalui Penyedia
`Garis Besar PBJ Melalui Swakelola
B.
PBJ Kondisi Tertentu
Menurut Undang-Undang
RI No. 1 Tahun 2004 utang negera merupakan
jumlah uang yang wajib dibayar pemerintah pusat maupun kewajiban pemerintah
pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lain yang sah. Utang luar negeri atau pinjaman luar negeri
juga merupakan sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh
dari para kreditor di luar negeri tersebut.
Fungsi
utang negara atau pinjaman luar negeri adalah :
1. menutupi defisit anggaran,
2. menutupi kekurangan kas atas kebutuhan kas jangka
pendek dalam pelaksanaan belanja yang tidak dapat ditunda,
3. dan solusi dalam penataan portofolio utang pemerintah
yang tentu dimaksud untuk mengurangi beban belanja.
Selain
itu, dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan pinjaman luar
negeri dan penerimaan hibah Pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah harus
memenuhi prinsip transparan, akuntabel, efisien dan efektif, kehati-hatian,
tidak disertai ikatan politik, dan tidak memiliki muatan yang dapat mengganggu
stabilitas keamanan negara.
Terkait
hibah, hibah yang diterima Pemerintah berbentuk uang tunai, uang untuk
membiayai kegiatan, barang/jasa, dan/atau surat berharga. Menurut jenisnya
penerimaan hibah terdiri atas hibah yang direncanakan, dan/atau hibah langsung.
Hibah yang bersumber dari luar negeri dapat diterus hibahkan atau dipinjamkan
kepada Pemda, atau dipinjamkan kepada BUMN sepanjang diatur dalam Perjanjian
Hibah.
Pinjaman
Luar Negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam berbentuk devisa dan
/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah ,maupun dalam bentuk barang dan/jasa yang
diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan
persyaratan tertentu
Hibah
Luar Negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau
devisa yang dirupaiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang
diperoleh dari pemberi hibah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali
Pengadaan
Barang/Jasa yang dibiayai dana Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN) terdiri dari
kegiatan :
a.
Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa dengan PHLN ; dan
b.
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dengan PHLN.
PA/KPA
merencanakan Pengadaan Barang/Jasa dengan memperhatikan penggunaan spesifikasi
teknis, kualifikasi, standar nasional dan kemampuan/potensi nasional. Dalam
merencanakan Pengadaan Barang/Jasa, harus memaksimalkan penggunaan produksi
dalam negeri sesuai dengan kemampuan/ potensi nasional dan standar nasional
dalam hal :
1.
Studi kelayakan
dan rancang bangun proyek;
2.
Penyiapan dokumen
pengadaan/KAK ; dan
3.
Penyusunan HPS.
Kriteria
dan tata cara evaluasi dalam Dokumen Pengadaan mencantumkan rumusan peran serta
Penyedia Barang/Jasa nasional dan preferensi harga yang ditetapkan. Dalam
penyusunan rancangan Kontrak, perlu dicantumkan kewajiban penggunaan produksi
dalam negeri.
PPK
dalam melaksanakan pekerjaan yang dibiayai dari PHLN, wajib memahami :
1.
Naskah Perjanjian
Pinjaman Luar Negeri (NPPLN)/ Naskah Perjanjian Hibah Luar Negeri (NPHLN) atau
dokumen kesepahaman ; dan
2.
Ketentuan-ketentuan
pelaksanaan proyek Pengadaan Barang/Jasa setelah NPPLN/NPHLN disepakati
Pemerintah Republik Indonesia dan pemberi pinjaman/hibah.
Pengadaan
Barang/Jasa yang dibiayai oleh Lembaga Penjamin Kredit Ekspor/Kredit Swasta
Asing dilakukan melalui Pelelangan/Seleksi internasional. Pengadaan Barang/Jasa
harus merupakan proyek prioritas yang tercantum dalam Daftar Rencana Prioritas
Pinjaman Hibah Luar Negeri (DRPPHLN).
Dalam
Pengadaan Barang/Jasa yang dananya bersumber dari Lembaga Penjamin Kredit
Ekspor, peserta Pelelangan/Seleksi internasional memasukkan penawaran
administratif, teknis, harga dan sumber pendanaan beserta persyaratannya sesuai
dengan ketentuan dan norma yang berlaku secara internasional. Evaluasi
penawaran sumber pendanaan dilakukan dengan metode
C.
Kriteria Tertentu PBJ
Kriteria
keadaan tertentu yang memungkinkan dilaksanakannya penunjukan langsung dalam
pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/ jasa lainnya adalah sebagai berikut
a. penanganan darurat yang tidak bisa direncanakan
sebelumnya dan waktu penyelesaian pekerjaannya harus segera/tidak dapat ditunda
untuk:
1) pertahanan negara;
2) keamanan dan ketertiban masyarakat;
3) keselamatan/perlindungan masyarakat yang pelaksanaan
pekerjaannya tidak dapat ditunda/ harus dilakukan segera, termasuk:
a) rangka pencegahan bencana; akibat bencana alam
dan/atau bencana non alam dan/atau bencana sosial;
b) dalam dan/atau
c) akibat kerusakan sarana/prasarana yang dapat
menghentikan kegiatan pelayanan publik;
b.
kegiatan
menyangkut pertahanan negara yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan serta
kegiatan yang menyangkut keamanan dan ketertiban masyarakat yang ditetapkan
oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c.
pekerjaan yang
hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) Penyedia Jasa Konsultansi; dan
d.
pekerjaan yang
hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) pemegang hak cipta yang telah terdaftar
atau pihak yang telah mendapat izin pemegang hak cipta.
D.
PBJ TNI dan POLRI
(1)
Alat utama sistem
senjata (alutsista) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang digunakan untuk
kepentingan pertahanan Negara ditetapkan oleh Menteri Pertahanan berdasarkan
masukan dari Panglima TNI.
(2)
Alat material
khusus (almatsus) Kepolisian Negara Republik Indonesia yang digunakan untuk
kepentingan penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat ditetapkan oleh
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)
Pengadaan
alutsista dan almatsus dilakukan oleh industri pertahanan, industri alutsista
dan industri almatsus dalam negeri.
(4)
Dalam hal
alutsista dan almatsus belum dapat dibuat di dalam negeri, Pengadaan alutsista
dan almatsus sedapat mungkin langsung dari pabrikan yang terpercaya.
(5)
Pabrikan Penyedia
alutsista dan almatsus di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
sedapat mungkin bekerja sama dengan industri dan/atau lembaga riset dalam
negeri.
(6)
Ketentuan lebih
lanjut tentang pedoman dan tata cara Pengadaan alutsista diatur oleh Menteri
Pertahanan dengan tetap berpedoman pada tata nilai pengadaan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Presiden ini.
(7)
Dalam melaksanakan
Pengadaan alutsista sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini, Menteri
Pertahanan dapat membentuk tim koordinasi yang terdiri dari unsur-unsur
Kementerian Pertahanan, Mabes TNI/Angkatan, kementerian yang membidangi
industri, riset dan teknologi serta unsur lain terkait.
(8)
Ketentuan lebih
lanjut tentang pedoman dan tata cara Pengadaan almatsus diatur oleh Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tetap berpedoman pada tata nilai pengadaan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden ini.
(9)
Dalam melaksanakan
Pengadaan almatsus sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini, Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat membentuk tim koordinasi yang
terdiri dari unsur-unsur kementerian yang membidangi industri, riset dan
teknologi serta unsur lain terkait.
(10)
Penyusunan pedoman
dan tata cara Pengadaan alutsista dan almatsus sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) dan ayat (8) dikonsultasikan kepada LKPP
E.
Pengendalian, Pengawasn, Pengaduan dan Sanksi
Pengendalian
Pasal 115 PP No 54 Tahun 2010
1.
K/L/D/I dilarang
melakukan pungutan dalam bentuk apapun dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
2.
Pimpinan K/L/D/I
wajib melaporkan secara berkala realisasi Pengadaan Barang/Jasa kepada LKPP.
Pengawasan
Pasal 116 PP No 54 Tahun 2010
K/L/D/I wajib melakukan pengawasan
terhadap PPK dan ULP/Pejabat Pengadaan di lingkungan K/L/D/I masing
masing, dan menugaskan aparat pengawasan intern yang bersangkutan untuk melakukan
audit sesuai dengan ketentuan.
Pengaduan
Pasal 117 PP No 54
Tahun 2010
1.
Dalam hal Penyedia Barang/Jasa atau masyarakat menemukan
indikasi penyimpangan prosedur, KKN dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan/atau
pelanggaran persaingan yang sehat dapat mengajukan pengaduan atas proses pemilihan
Penyedia Barang/Jasa.
2.
Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditujukan
kepada APIP K/L/D/I yang bersangkutan dan/atau LKPP, disertai
bukti-bukti kuat yang terkait langsung dengan materi pengaduan.
3.
APIP K/L/D/I dan LKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sesuai dengan kewenangannya menindaklanjuti pengaduan yang dianggap beralasan.
4.
Hasil tindak lanjut pengaduan yang dilakukan oleh APIP
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaporkan kepada Menteri/Pimpinan
Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan institusi, dan dapat dilaporkan kepada instansi
yang berwenang dengan persetujuan Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala
Daerah/ Pimpinan Institusi, dalam hal diyakini terdapat indikasi KKN yang akan
merugikan keuangan negara, dengan tembusan kepada LKPP dan BPKP.
5.
Instansi yang berwenang dapat menindaklanjuti pengaduan
setelah Kontrak ditandatangani dan terdapat indikasi adanya kerugian negara.
Sanksi
Pasal 118 PP No 54 Tahun 2010
(1) Perbuatan atau tindakan
Penyedia Barang/Jasa yang dapat dikenakan sanksi adalah:
v berusaha mempengaruhi
ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun,
baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang
bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen
Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
v melakukan persekongkolan
dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran diluar prosedur
pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga
mengurangi/menghambat/memperkecil dan/ atau meniadakan persaingan yang sehat
dan/atau merugikan orang lain;
v membuat dan/atau
menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk
memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen
Pengadaan;
v mengundurkan diri dari
pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat
diterima oleh ULP/Pejabat Pengadaan;
v tidak dapat
menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara bertanggung jawab;
dan/atau
v berdasarkan hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3), ditemukan adanya
ketidaksesuaian dalam penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.
(2) Perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa:
a. sanksi
administratif;
b. sanksi
pencantuman dalam Daftar Hitam;
c. gugatan secara
perdata; dan/atau
d. pelaporan
secara pidana kepada pihak berwenang.
(3) Pemberian sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan oleh PPK/ULP/Pejabat Pengadaan
sesuai dengan ketentuan.
(4) Pemberian sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan oleh PA/KPA setelah mendapat
masukan dari PPK/ ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.
(5) Tindakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c dan huruf d, dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(6) Apabila ditemukan
penipuan/pemalsuan atas informasi yang disampaikan Penyedia Barang/Jasa,
dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon pemenang dan dimasukkan dalam Daftar
Hitam.
(7) Apabila terjadi pelanggaran
dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa, maka ULP:
a. dikenakan sanksi
administrasi;
b. dituntut ganti
rugi; dan/atau
c. dilaporkan secara
pidana.
PERTEMUAN 12
BARANG MILIK NEGARA
A.
Dasar Hukum BMN
Peraturan Perundang-undangan di dalam Perencanaan dan Penganggaran:
1.
UU NOMOR
17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA
2.
UU NOMOR
1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA
3.
PP NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BMN/D
4.
PP
NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN PP NO 6 TAHUN 2006
5.
PP
NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BMN
B.
Asas Asas Penggunaan BMN
- Penggunaan Barang Milik Negara oleh
Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang dibatasi hanya untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga.
- Tanah dan/atau bangunan yang tidak
digunakan sesuai tugas pokok dan fungsi Pengguna Barang atau Kuasa
Pengguna Barang wajib diserahkan kepada Pengelola Barang.
3.
Semua
penerimaan yang berasal dari pemanfaatan dan pemindahtanganan Barang Milik
Negara merupakan penerimaan negara bukan pajak yang harus disetor ke rekening
kas umum negara
4.
Penerimaan
negara bukan pajak merupakan penerimaan umum.
C.
Konsep Dasar
- Pengguna
Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib mengelola dan menatausahakan
BMN/D yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
- BMN/D
yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah
tidak dapat dipindahtangankan.
- Penjualan BMN/D dilakukan dengan cara lelang,
kecuali dalam hal-hal tertentu yang diatur dengan peraturan pemerintah.
- BMN/D
yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat/Daerah harus
disertifikatkan atas nama Pemerintah RI/Pemda yang bersangkutan.
- Bangunan
milik negara/daerah harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan
ditatausahakan secara tertib.
- BMN/D
dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas
tagihan kepada Pemerintah Pusat/Daerah.
- BMN/D
dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman.
- Pihak
mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap :
a. barang
bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun
pada pihak ketiga;
b. barang
tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah;
c. barang
milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk
penyelenggaraan tugas pemerintahan.
D.
Ruang Lingkup BMN
E.
Siklus Pengelolaan BMN
PERTEMUAN 13
INVESTASI
A.
Pengertian Investasi
Investasi Pemerintah adalah
penempatan sejumlah dana dan/atau barang dalam jangka panjang untuk investasi
pembelian surat berharga dan Investasi Langsung untuk memperoleh manfaat
ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.
B.
DASAR HUKUM
·
UUD 194
·
UU No.17 TAHUN 2003
·
UU No.1 TAHUN 2004
·
UU No. 19 TAHUN 2003
·
PP No.1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH
·
PP NO.72 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN PP No.44 TAHUN
2005 TENTANG TATA CARA PENYERTAAN DAN PENATAUSAHAAN MODAL NEGARA PADA BUMN DAN
PT
C.
KLASIFIKASI INVESTASI PEMERINTAH
Investasi pemerintah diklasifikasikan menjadi
dua yaitu investasi jangka pendek dan investasi jangka panjang. Investasi
jangka pendek merupakan kelompok aset lancar sedangkan investasi jangka panjang
merupakan kelompok aset nonlancar.
Investasi jangka pendek harus memenuhi
karakteristik sebagai berikut:
1. Dapat segera
diperjualbelikan/dicairkan;
2. Investasi
tersebut ditujukan dalam rangka manajemen kas, artinya pemerintah dapat menjual
investasi tersebut apabila timbul kebutuhan kas;
3. Berisiko rendah.
Dengan memperhatikan kriteria tersebut pada
paragraf 10, maka pembelian surat-surat berharga yang berisiko tinggi bagi pemerintah,
karena dipengaruhi oleh fluktuasi harga pasar surat berharga, tidak termasuk
dalam investasi jangka pendek. Jenis investasi yang tidak termasuk dalam
kelompok investasi jangka pendek antara lain adalah:
1. Surat berharga
yang dibeli pemerintah dalam rangka mengendalikan suatu badan usaha, misalnya
pembelian surat berharga untuk menambah kepemilikan modal saham pada suatu
badan usaha;
2. Surat berharga
yang dibeli pemerintah untuk tujuan menjaga hubungan kelembagaan yang baik
dengan pihak lain, misalnya pembelian surat berharga yang dikeluarkan oleh
suatu lembaga baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menunjukkan
partisipasi pemerintah; atau
3. Surat berharga
yang tidak dimaksudkan untuk dicairkan dalam memenuhi kebutuhan kas jangka
pendek.
Investasi yang dapat digolongkan sebagai
investasi jangka pendek, antara lain terdiri atas:
1. Deposito
berjangka waktu tiga sampai dua belas bulan dan/atau yang dapat diperpanjang
secara otomatis (revolving deposits);
2. Pembelian Surat
Utang Negara (SUN) pemerintah jangka pendek oleh pemerintah pusat maupun daerah
dan pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Investasi jangka panjang dibagi menurut sifat
penanaman investasinya, yaitu permanen dan nonpermanen. Investasi Permanen
adalah investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki secara
berkelanjutan, sedangkan Investasi Nonpermanen adalah investasi jangka panjang
yang dimaksudkan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan.
Pengertian berkelanjutan adalah investasi yang
dimaksudkan untuk dimiliki terus menerus tanpa ada niat untuk memperjualbelikan
atau menarik kembali. Sedangkan pengertian tidak berkelanjutan adalah
kepemilikan investasi yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan,
dimaksudkan untuk tidak dimiliki terus menerus atau ada niat untuk memperjualbelikan
atau menarik kembali.
Investasi permanen yang dilakukan oleh
pemerintah adalah investasi yang tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan,
tetapi untuk mendapatkan dividen dan/atau pengaruh yang signifikan dalam jangka
panjang dan/atau menjaga hubungan kelembagaan. Investasi permanen dapat berupa:
1. Penyertaan Modal
Pemerintah pada perusahaan negara/daerah, badan internasional dan badan usaha
lainnya yang bukan milik negara;
2. Investasi
permanen lainnya yang dimiliki oleh pemerintah untuk menghasilkan pendapatan
atau meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Investasi nonpermanen yang dilakukan oleh
pemerintah, antara lain dapat berupa:
1. Pembelian
obligasi atau surat utang jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki sampai
dengan tanggal jatuh temponya oleh pemerintah;
2. Penanaman modal
dalam proyek pembangunan yang dapat dialihkan kepada pihak ketiga;
3. Dana yang
disisihkan pemerintah dalam rangka pelayanan masyarakat seperti bantuan modal
kerja secara bergulir kepada kelompok masyarakat;
4. Investasi nonpermanen
lainnya, yang sifatnya tidak dimaksudkan untuk dimiliki pemerintah secara
berkelanjutan, seperti penyertaan modal yang dimaksudkan untuk
penyehatan/penyelamatan perekonomian.
Penyertaan modal pemerintah dapat berupa surat
berharga (saham) pada suatu perseroan terbatas dan non surat berharga yaitu
kepemilikan modal bukan dalam bentuk saham pada perusahaan yang bukan
perseroan.
Investasi permanen lainnya merupakan bentuk
investasi yang tidak bisa dimasukkan ke penyertaan modal, surat obligasi jangka
panjang yang dibeli oleh pemerintah, dan penanaman modal dalam proyek
pembangunan yang dapat dialihkan kepada pihak ketiga, misalnya investasi dalam
properti yang tidak tercakup dalam pernyataan ini.
Akuntansi untuk investasi pemerintah dalam
properti dan kerjasama operasi akan diatur dalam standar akuntansi tersendiri.
D.
JENIS INVESTASI PEMERINTAH
Investasi Langsung adalah penyertaan
modal dan/atau pemberian pinjaman oleh badan investasi pemerintah untuk membiayai kegiatan usaha.
a. Penyertaan Modal adalah bentuk Investasi Pemerintah pada Badan
Usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian Perseroan Terbatas dan/atau pengambilalihan Perseroan Terbatas.
b. Pemberian Pinjaman adalah bentuk Investasi Pemerintah pada Badan
Usaha, Badan Layanan Umum (BLU), Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dengan hak memperoleh pengembalian
berupa pokok pinjaman, bunga, dan/atau biaya lainnya.
E.
PELAKSANA INVESTASI
1. Badan Usaha adalah Badan Usaha swasta berbentuk Perseroan
Terbatas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan Koperasi.
2. Badan Investasi Pemerintah adalah unit pelaksana investasi
sebagai satuan kerja yang mempunyai tugas dan tanggung jawab pelaksanaan
Investasi Pemerintah atau badan hukum yang lingkup kegiatannya di bidang pelaksanaan Investasi Pemerintah, berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
F.
SUMBER DANA INVESTASI PEMERINTAH
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
2. keuntungan investasi terdahulu;
3. dana/barang amanat pihak lain yang dikelola oleh Badan Investasi Pemerintah;
4. sumber-sumber
lainnya yang sah.
Menteri Keuangan selaku pengelola Investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab:
1. merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman
pengelolaan Investasi Pemerintah;
2. menetapkan kriteria pemenuhan perjanjian dalam pelaksanaan Investasi Pemerintah; dan
3. menetapkan tata cara pembayaran kewajiban yang timbul dari proyek penyediaan Investasi Pemerintah dalam hal terdapat penggantian atas hak kekayaan
intelektual, pembayaran subsidi, dan kegagalan pemenuhan Perjanjian Investasi.
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan operasional Investasi Pemerintah, Menteri
Keuangan berwenang dan bertanggung jawab:
- mengelola Rekening Induk
Dana Investasi;
- meneliti dan menyetujui atau
menolak usulan permintaan dana Investasi
Pemerintah dari Badan Usaha,
BLU, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, BLUD, dan/atau badan hukum asing;
- mengusulkan rencana
kebutuhan dana Investasi Pemerintah yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
- menempatkan dana atau barang
dalam rangka Investasi Pemerintah;
- melakukan Perjanjian
Investasi dengan Badan Usaha terkait
dengan penempatan dana Investasi
Pemerintah;
- melakukan pengendalian atas
pengelolaan risiko terhadap pelaksanaan
Investasi Pemerintah;
- mengusulkan rekomendasi atas
pelaksanaan Investasi
Pemerintah;
- mewakili dan melaksanakan
kewajiban serta menerima hak pemerintah
yang diatur dalam Perjanjian Investasi;
- menyusun dan menandatangani
Perjanjian Investasi;
- mengusulkan perubahan
Perjanjian Investasi;
- melakukan tindakan untuk dan
atas nama pemerintah apabila terjadi sengketa atau perselisihan dalam
pelaksanaan Perjanjian Investasi;
- melaksanakan Investasi
Pemerintah dan Divestasinya;
- apabila diperlukan, dapat
mengangkat dan memberhentikan Penasihat
Investasi.
SYARAT INVESTASI PEMBELIAN SAHAM
- Investasi dengan cara pembelian saham dapat
dilakukan atas saham yang diterbitkan perusahaan.
- Investasi dengan cara pembelian surat utang
dapat dilakukan atas surat utang
yang diterbitkan perusahaan,
pemerintah, dan/atau negara lain.
- Pelaksanaan investasi didasarkan pada penilaian kewajaran harga surat berharga yang dapat dilakukan oleh
Penasihat Investasi.
- Pelaksanaan investasi dengan cara pembelian
surat utang hanya dapat dilakukan
apabila penerbit surat utang memberikan opsi pembelian surat utang
kembali.
PERTEMUAN 14
KEUANGAN DAERAH
A. Pengertian
Dalam Peraturan
Pemerintah No. 105 tahun 2000, menyebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewjiban
daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan
uang temasuk didalamnya segala bentuk kekayaan lain yang berhubungan dengan hak
dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD.
Sehubungan dengan pentingnya
posisi keuangan tersebut, keuangan daerah sebagai
salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan dikeluarkannya undang-undang tentang
Otonomi Daerah, membawa konsekuensi bagi daerah yang akan menimbulkan perbedaan
antar daerah yang satu dengan yang lainnya, terutama dalam hal kemampuan
keuangan daerah, antara lain (Nataluddin, 2001:167):
·
Daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerah.
·
Daerah yang mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah.
·
Daerah yang sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah dan
·
Daerah yang kurang mampu melaksanakan urusan otonomi daerah
Selain itu ciri utama
yang menunjukkan suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah sebagai
berikut (Nataluddin, 2001:167):
·
Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan
menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahannya.
·
Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar
Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar,
yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sehingga
peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.
Berkaitan dengan
hakekat otonomi daerah yaitu berkaitan dengan pelimpahan wewenang pengambilan
keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam
penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, maka peranan data keuangan
daerah sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah
serta jenis dan besar balanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan
dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang
memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik
penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang
penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah
untuk melihat kemampuan / kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)
Secara konseptual,
pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus dilakukan sesuai dengan
kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan, walaupun pengukuran kemampuan keuangan daerah ini akan menimbulkan
perbedaan. Paul Hersey dan Kenneth Blanchard memperkenalkan “Hubungan
Situasional” dalam pelaksanaan otonomi daerah (dalam Nataluddin, 2001:168-169)
:
·
Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah puasat lebih
dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu
melaksanakan otonomi daerah)
·
Pola Hubungan Konsultif, campur tangan pemerintah pusat sudah
mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan
otonomi.
·
Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin
berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati
mampu melaksanakan urusan otonomi.
·
Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah
tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan
urusan otonomi daerah.
Bertolak dari teori
tersebut, karena adanya potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
berbeda, akan terjadi pula perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian
antar daerah.
B. Pengelolaan Penerimaan Daerah
Menurut UU No. 32
tahun 2004 pasal 157 dan UU No. 33 tahun 2004 pasal 6, serta PP No. 105 tahun
2000 dan PP No 64 tahun 2000, sumber-sumber penerimaan dapat diperinci sebagai
berikut:
A.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber keuangan yang digali dari dalam wilayah
yang bersangkutan. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari :
1.
Pajak Daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 65 tahun
2001 tentang pajak daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah yang selanjutnya
disebut dengan pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
2.
Retribusi Daerah, menurut Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2001
tentang retribusi daerah, yang dimaksud dengan retribisi daerah adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran atau jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus
disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan.
3.
Hasil Perusahaan Milik Daerah, merupakan hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis penerimaan yang termasuk hasil
pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan antara lain bagian laba,
deviden dan penjualan saham milik daerah.
4. Lain-lain Pendapatan
Asli Daerah yang sah, antara lain hasil penjualan asset negara dan jasa giro.
B.
Dana Perimbangan
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan kepada daerah untuk
membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana
perimbangan tersebut saling mengisisi dan melengkapi. Adapun pos-pos dana perimbangan
tersebut terdiri dari :
·
Bagian daerah dari penerimaan Pajak
Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan
dari Sumber Daya Alam seperti : kehutanan, perikanan, pertambangan, minyak dan
gas.
·
Dana Alokasi Umum adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. (UU No. 33 pasal 1 ayat 2)
·
Dana Alokasi Khusus adalah
dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. (UU No. 33 tahun 2004 pasal
1 ayat 23).
Langkah-langkah yang dapat dilaksanakan agar pendapatan
daerah dapat ditingkatkan antara lain sebagai berikut (dalam Nirzawan,
2001:75):
a. Intensifikasi, dilaksanakan antara lain dengan cara sebagai berikut :
a. Intensifikasi, dilaksanakan antara lain dengan cara sebagai berikut :
·
Melaksanakan tertib penetapan pajak
yang harus dibayar oleh wajib pajak, tertib dalam pemungutan kepada wajib
pajak, tertib dalam administrasi serta tertib dalam administrasi serta tertib
dalam penyetoran.
·
Melaksanakan secara optimal
pemungutan pajak dan retribusi daerah sesuai dengan potensi yang obyektif
berdasarkan peraturan yang berlaku.
·
Melakukan pengawasan dan
pengendalian secara sistematis dan kontinyu (berkelanjutan) untuk
mengantisipasi terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan pemungutan di lapangan
oleh petugas.
·
Membentuk tim satuan tugas (satgas)
pada dinas terkait yng bertugas mengawasi pemungutan di lapangan oleh petugas.
·
Memberikan insentif
(rangsangan)secara khusus kepada aparat pengelola PAD yang dapat melampui
penerimaan dari target yang telah ditetapkan.
·
Mengadakan pendekatan persuasif
kepada wajib pajak agar memenuhi kewajibannya melalui kegiatan penyuluhan.
·
Melakukan langkah-langkah
pengendalian lain guna menghindari timbulnya penyimpangan terhadap pelaksanaan
peraturan daerah mengenai pengelolaan maupun penetapan pajak dan retribusi
daerah.
b. Ekstensifikasi, dilaksanakan dengan cara antara lain
sebagai berikut:
·
Menyusun program kebijakan dan
strategi pengembangan dan menggali obyek pungutan baru yang potensial dengan
lebih memprioritaskan kepada retribusi daerah untuk ditetapkan dan dijabarkan
dalam peraturan daerah.
·
Meninjau kembali ketentuan tarif dan
pengembangan sasaran sesuai dengan peraturan daerah yang ada dan mengkaji ulang
peraturan daerah untuk diajukan perubahan.
·
Mengadakan studi banding ke daerah
lain guna mendapat informasi terhadap jenis-jenis penerimaan pajak dan
retribusi lain yang memungkinkan untuk dikembangkan.
C. Pengelolaan Pengeluaran Daerah
Dalam Peraturan pemerintah No. 105 tahun 2000, menyebutkan
bahwa Pengeluaran Daerah adalah semua pengeluaran kas daerah periode tahun
anggaran yang bersangkutan yang meliputi belanja rutin (operasional), belanja
pembangunan (belanja modal) serta pengeluaran tidak disangka.
a. Belanja Rutin
Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk
satu tahun anggaran dan menambah asset / kekayaan bagi daerah. Belanja rutin
terdiri dari :
1) Belanja administrasi dan umum :
1) Belanja administrasi dan umum :
- Belanja pegawai
- Belanja barang
- Belanja perjalanan dinas
- Belanja pemeliharaan
2) Belanja operasi
dan pemeliharaan sarana dan prasarana
b. Belanja Investivasi / Pembangunan
Belanja investasi adalah pengeluaran yang manfaatnya
cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset / kekayaan
daerah, dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya rutin untuk
biaya operasional dan pemeliharaannya. Belanja investasi terdiri dari :
·
Belanja publik. Belanja yang
manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Belanja publik
merupakan belanja modal (capital expenditure) yang berupa investasi fisik
(pembangunan infrastruktur) yang mempunyai nilai ekonomis lebih dari satu tahun
dan mengakibatkan terjadinya penambahan asset daerah.
·
Balanja aparatur adalah belanja yang
manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan
secara langsung oleh aparatur. Belanja aparatur menyebabkan terjadinya
penambahan aktiva tetap dan aktiva tidak lancar lainnya. Belanja aparatur
diperkirakan akan memberikan manfaat pada periode berjalan dan periode yang
akan datang.
·
Pengeluaran transfer adalah
pengalihan uang dari pemerintah daerah dengan kriteria :
·
Tidak menerima secara langsung
imbalan barang dan jasa seperti layaknya terjadi transaksi pembelian dan
penjualan.
·
Tidak mengharapkan dibayar kembali
dimasa yang akan datang, seperti yang diharapkan pada suatu pinjaman.
·
Tidak mengharapkan adanya hasil pendapatan,
seperti layaknya yang diharapkan pada suatu investasi.
Pengeluaran transfer ini terdiri dari atas : angsuran
pinjaman, dana bantuan dana cadangan.
c. Pengeluaran Tidak Tersangka
Pengeluaran tidak tersangka adalah yang disediakan untuk
pembiayaan :
·
Kejadian-kejadian luar biasa seperti
bencana alam, kejadian yang dapat membahayakan daerah.
·
Tagihan tahun lalu yang belum
diselesaikan dan atau tidak tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan.
·
Pengambilan penerimaan yang bukan
haknya atau penerimaan yang dibebaskan (dibatalkan) dan atau kelebihan
penerimaan.
Pengeluaran daerah tersebut harus dikelola dengan
memperhatikan beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan antara lain
(Nirzawan,2001:77):
a. Akuntabilitas
Akuntabilitas pengeluaran daerah adalah kewajiban pemerinta
daerah untuk memberikan pertanggung jawaban, menyajikan dan melaporkan segala
aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan penggunaan uang publik kepada pihak
yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggung jawaban
tersebut (DPRD dan masyarakat luas). Aspek penting yang harus dipertimbangkan
oleh para manajer daerah adalah :
·
Aspek legalitas pengeluaran daerah
yaitu setiap transaksi pengeluaran yang dilakukan harus dapat dilacak otoritas
legalnya.
·
Pengelolaan (stewardship) atas
pengeluaran daerah yang baik, perlindungan asset fisik dan financial, mencegah
terjadinya pemborosan dan salah urus.
Prinsip-prinsip akuntabilitas pengeluaran daerah :
·
Adanya sistem akuntansi dan sistem
anggaran yang dapat menjamin bahwa pengeluaran daerah dilakukan secara
konsistensi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·
Pengeluaran daerah yang dilakukan
dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
·
Pengeluaran daerah yang dilakukan dapat
berorientasi pada pencapaian visi, misi, hasil dan manfaat yang akan diperoleh.
b. Value of Money
Pengeluaran daerah harus mendasarkan konsep value of money,
yaitu :
·
Ekonomi, adalah hubungan antara
pasar (nilai uang) dan masukan (input). Ekonomi adalah pembelian barang dan
jasa pada kualitas yang diinginkan dan pada harga terbaik yang memungkinkan.
Pengertian ekonomi sebaiknya mencakup juga pengeluaran daerah yang berhati-hati
atau cermat dan penggunaan keuangan daerah secara optimal tanpa pemborosan (tepat guna). Suatu
kegiatan operasional dikatakan ekonomis apabila dapat menghilangkan atau
mengurangi biaya yang dianggap tidak perlu. Dengan demikian pada hakekatnya ada
pengertian yang serupa antara efisiensi dan ekonomi, karena kedua-keduanya
menghendaki penghapusan dan penurunan biaya.
·
Efisiensi, berhubungan erat dengan
konsep efektivitas, yaitu rasio yang membandingkan antara output yang dihasilkan
terhadap input yang digunakan. Proses kegiatan operasional dapat dikatakan
dilakukan secara efisiensi apabila suatu target kinerja tertentu dapat dicapai
dengan menggunakan sumber daya dan biaya yang serendah-rendahnya.
·
Efektivitas, merupakan kaitan atau
hubungan antara keluaran suatu pusat pertanggung jawaban dengan tujuan atau
sasaran yang harus dicapainya. Efektivitas dalam Pemerintah Daerah dapat
diartikan penyelesaian kegiatan tepat pada waktunya dan didalam batas anggaran
yang tersedia, dapat berarti pula mencapai tujuan dan sasaran seperti apa yang
telah direncanakan. Namun demikian, walaupun ada yang dilaksanakan menyimpang
dari rencana semula, tetapi mempunyai dampak yang menguntungkan pada kelompok
penerima sasaran manfaat, maka dapat dikatakan efektif. Semakin besar
kontribusi pengeluaran yang dilakukan terhadap nilai pencapaian tujuan atau
sasaran yang ditentukan dapat dikatakan efektif proses kerja dari unit kerja
dimaksud
PERTEMUAN 15
PENGAWASAN, PEMERIKSAAN
PENGELOLAAN DAN TANGGUNGJAWAB KEUANGAN NEGARA
A. Dasar Hukum
1. Pasal 23E
ayat 1 untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara
diadakan satu BADAN PEMERIKSA KEUANGAN yang bebas dan mandiri.
2. UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2004 TENTANG PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB
KEUANGAN NEGARA
3. UU No.15
TAHUN 2006 TENTANG BPK
4. Peraturan Kepala BPK Nomor 3 tahun 2007 tentang TATA CARA PENYELESAIAN
KERUGIAN NEGARA TERHADAP BENDAHARA
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.01/2009 tentang PEDOMAN PENYELESAIAN GANTI KERUGIAN
NEGARA TERHADAP BENDAHARA
6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 508/KMK.01/1999 tentang PETUNJUK
PELAKSANAAN PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA BUKAN KEKURANGAN PERBENDAHARAAN DI
LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN
B. Pengertian
Pemeriksa dan Pemeriksaan
Pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama
BPK.
Pemeriksaan adalah
proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara
independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk
menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
1. Pemeriksaan
Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan.
2. Pemeriksaan
Kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek
ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas.
3. Pemeriksaan
dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam
pemeriksaan keuangan dan kinerja.
C. Lingkup
Pemeriksaan
1. Pemeriksaan
keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan
pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara.
2. BPK
melaksanakan pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
3. Pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi
seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
4. Dalam hal
pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan
undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK
dan dipublikasikan.
D. Standar
Pemeriksaan
Ø Patokan
untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
meliputi
F Standar Umum,
F Standar Pelaksanaan Pemeriksaan,
F Standar Pelaporan
Ø yang wajib
dipedomani oleh BPK dan/atau Pemeriksa.
E. Pemeriksa
q B P K
q AKUNTAN PUBLIK/APIP (penugasan)
F. Pelaksanaan
Pemeriksaan
Ø Penentuan objek pemeriksaan,
Ø Perencanaan;
Ø Pelaksanaan pemeriksaan;
Ø Penentuan waktu;
Ø Metode pemeriksaan
Ø Penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan
mandiri oleh BPK
G. Hasil Pemeriksaan
1. Laporan
hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini.
2. Laporan
hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.
3. Laporan
hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.
4. Tanggapan
pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan
rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil pemeriksaan.
H. Hasil
Pemeriksaan Pemerintah Pusat dan Pemda
1. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat
disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat.
2. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah
disampaikan oleh BPK kepada DPRD
selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari
pemerintah daerah.
3. Laporan hasil pemeriksaan LKPP/LKPD disampaikan pula kepada
Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
4. Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai
dengan kewenangannya.
5. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada
DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya.
6. Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan pula kepada
Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
I. Tindak
Lanjut Hasil Pemeriksaan
1. Pejabat
wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
2. Pejabat
wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas
rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
3. Jawaban
atau penjelasan PEJABAT disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam
puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.
4. BPK
memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan.
5. Pejabat
yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban dapat dikenai sanksi administratif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
6. BPK
memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut kepada lembaga perwakilan dalam
hasil pemeriksaan semester.
PERTEMUAN 16
KETENTUAN PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF, DAN GANTI RUGIUU Keuangan Negara
A. KETENTUAN
PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF, DAN GANTI RUGI
Pasal
34
1.
Menteri/Pimpinan
lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan
yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang
APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan
undang-undang.
2.
Pimpinan Unit
Organisasi Kementrian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangka Daerah yang terbukti
melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam
undangundang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana
penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
3.
Presiden memberi
sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan undang-undang kepada pegawai negeri
serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan
dalam undang-undang ini.
B. UU
Perbendaharaan Negara
Pasal
64
1.
Bendahara, pegawai
negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti
kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi
pidana.
2.
Putusan pidana
tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.
C. UU PPTKN
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
24
1.
Setiap orang yang
dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban menyerahkan dokumen dan/atau menolak
memberikan keterangan yang diperlukan untuk kepentingan kelancaran pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
2.
Setiap orang yang
dengan sengaja mencegah, menghalangi, dan/atau menggagalkan pelaksanaan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
3.
Setiap orang yang
menolak pemanggilan yang dilakukan oleh BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
tanpa menyampaikan alasan penolakan secara tertulis dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
4.
Setiap orang yang
dengan sengaja memalsukan atau membuat palsu dokumen yang diserahkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal
25
1.
Setiap pemeriksa
yang dengan sengaja mempergunakan dokumen yang diperoleh dalam pelaksanaan
tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 melampaui batas
kewenangannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2.
Setiap pemeriksa
yang menyalahgunakan kewenangannya sehubungan dengan kedudukan dan/atau tugas
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan /atau
denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal
26
1.
Setiap pemeriksa
yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan pemeriksaan yang mengandung unsur
pidana yang diperolehnya pada waktu melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun 6 (enam ) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima
ratus juta rupiah).
2.
Setiap orang yang
tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan
dalam laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 ( satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
D. Pengertian
Pertanggungjawaban Formal
Kamus
Besar Bahasa Indonesia :
1.
Tanggung Jawab
adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb)
2.
Formal adalah
sesuai dengan peraturan yg sah
3.
Tanggung jawab
formal adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya sesuai dengan
peraturan yang sah yang kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan,
atau diperkarakan.
E. Pengertian
Pertanggungjawaban Materiil
Kamus
Besar Bahasa Indonesia:
1.
Tanggung Jawab
adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb)
2.
Materiil adalah
bersifat fisik (kebendaan)
3.
Tanggung Jawab
Materiil adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya yang bersifat fisik
yang kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, atau diperkarakan.
F. Tanggungjawab
PA/KPA
PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 2013
PASAL
4 : Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA bertanggung jawab secara formal dan
materiil kepada Presiden atas pelaksanaan kebijakan anggaran Kementerian
Negara/Lembaga yang dikuasainya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
1.
Tanggungjawab
Formal adalah tanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian
Negara/Lembaga yang dipimpinnya.
2.
Tanggungjawab
Materiil adalah tanggung jawab atas penggunaan anggaran dan hasil yang dicapai
atas beban anggaran negara
G. Tanggungjawab
KPA
KPA
bertanggung jawab secara formal dan materiil kepada PA atas pelaksanaan
Kegiatan yang berada dalam penguasaannya.
1.
Tanggungjawab
Formal merupakan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang KPA
2.
Tanggungjawab
Materiil merupakan tanggung jawab atas penggunaan anggaran dan keluaran
(output) yang dihasilkan atas beban anggaran negara.
H.
Aspek Hukum “Perbuatan”
Pejabat Perbendaharaan
1.
Hukum Administrasi Negara adalah seluruh aturan yang
mengatur bagaimana alat dan badan pemerintahan hendak memenuhi tugasnya. (JHP
Beltefroid)
Azas-azas Hukum Administrasi
Negara :
- Azas Yuridikitas
(rechtmatigheid), merupakan setiap tindakan pejabat administrasi negara
tidak boleh melanggar hukum.
- Azas Legalitas
(wetmatigheid), merupakan setiap tindakan pejabat administrasi negara
harus ada dasar hukumnya.
- Asas Diskresi, kebebasan
dari seorang pejabat administrasi negara untuk mengambil keputusan
berdasarkan pendapatnya sendiri tetapi tidak bertentangan dengan
legalitas.
2. Hukum Perdata adalah hukum yang
mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang lainnya dalam hubungan
hukumnya.
Contoh : PPK menandatangani
Kontrak dengan Penyedia Barang Jasa.
3. Hukum Pidana adalah keseluruhan
dari peraturan2 yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke
dalam tindak pidana serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap
yang melakukannya. (Prof.Dr.H.Muchsin, SH)
I. Tindak
Pidana Korupsi
• UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU
20 tahun 2001 Pasal 2 sampai dengan pasal 12, pasal 15
• UU Nomor 8 tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 2, pasal 3,
pasal 4, pasal 5, pasal 8, pasal 10.
Kamus Besar Bahasa Indonesia:
Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang
negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Berdasarkan
Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo UU nomor 20 Tahun 2001, yang dimaksud
dengan tindak pidana korupsi adalah:
• Pasal 2 ayat (1) “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
• Pasal 3: “Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Yang
dimaksud setiap orang adalah :
• Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
kepegawaian;
• Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana; Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah;
• Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah;
• Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
• Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas termasuk setiap orang
adalah orang perorangan atau termasuk korporasi.
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.
Saya Widaya Tarmuji, saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah TRACY MORGAN LOAN FIRM. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir 32 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
BalasHapusTapi Tracy Morgan memberi saya mimpi saya kembali. Ini adalah alamat email yang sebenarnya mereka: tracymorganloanfirm@gmail.com. Email pribadi saya sendiri: widayatarmuji@gmail.com. Anda dapat berbicara dengan saya kapan saja Anda inginkan. Terima kasih semua untuk mendengarkan permintaan untuk saran saya. hati-hati