Senin, 13 November 2017

Resume Pertemuan Hukum Keuangan Negara ( Dosen : Kusmono, SH, Sp.N., M.Hum. ) Part 2

PERTEMUAN 9

BADAN LAYANAN UMUM

A.    Pengertian BLU

Badan Layanan Umum (disingkat BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiens8i dan produktifitas. BLU terdapat di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. BLU di daerah disebut Badan Layanan Umum Daerah (disingkat BLUD).

B.    Tujuan dan Asas BLU

1.    Tujuan

BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.

2.    Asas

a.       BLU beroperasi sebagai unit kerja K/L/Pemda untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan.
b.       BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan K/L / Pemda dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari K/L / Pemda sebagai instansi induk.
c.       Menteri/pimpinan lembaga/ gubernur/ bupati/walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan.
d.       Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh menteri/ pimpinan lembaga/ gubernur/ bupati/ walikota.
e.       BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan.
f.        Rencana kerja dan anggaran(RKA-BLU) serta laporan keuangan dan kinerja BLU (LKK-BLU) disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran (RKA-KLPD) serta laporan keuangan dan kinerja (LKK-KLPD) K/L / Pemda.
g.       BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktek bisnis yang sehat.

C.    Persyaratan, Penetapan, Pencabutan BLU

1.    Persyaratan

Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan: substantif, teknis, dan administratif.

a.     Persyaratan Substantif

Persyaratan substantif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan:
         Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum
         Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau
         Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.

b.     Persyaratan Teknis

Persyaratan teknis terpenuhi apabila:
         kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsi(TUPOKSI)nya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya; dan
         kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.

c.     Persyaratan Administratif

Persyaratan administratif terpenuhi apabila instansi ybs menyajikan dokumen sbb:
·         pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
·         pola tata kelola;
·         rencana strategis bisnis;
·         laporan keuangan pokok;
·         standar pelayanan minimum; dan
·         laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen
Dokumen (kelengkapan administratif) disampaikan oleh unit instansi berkenaan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk mendapatkan persetujuan (rekomendasi) sebelum disampaikan kepada Menteri Keuangan/Gubernur /Bupati /Walikota, sesuai dengan kewenangannya.
Persyaratan administratif diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan /gubernur /bupati /walikota sesuai dengan kewenangannya.(see PMK-07/PMK.02/2006)

2.    Penetapan Status BLU

a.       Menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD mengusulkan instansi pemerintah yang memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif untuk menerapkan PPK-BLU kepada Menkeu/gubernur/ bupati/walikota.
b.       Menkeu/gubernur/bupati/walikota menetapkan instansi pemerintah yang telah memenuhi persyaratan untuk menerapkan PPK-BLU.
Status BLU
a.       Status BLU secara penuh → diberikan apabila seluruh persyaratan telah dipenuhi dengan memuaskan.
b.       Status BLU-Bertahap → diberikan apabila persyaratan substantif dan teknis telah terpenuhi, namun persyaratan administratif belum terpenuhi secara memuaskan

3.    Pencabutan Status BLU

Penerapan PPK-BLU berakhir apabila:
a.       dicabut oleh Menkeu/ gubernur /bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya;
b.       dicabut oleh Menkeu /gubernur /bupati/ walikota berdasarkan usul dari menteri/ pimpinan lembaga/ kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya; atau
b.       berubah statusnya menjadi badan hukum dengan kekayaan negara yang dipisahkan.

D.   Standard an Tarif Layanan

1.    Standar Layanan

a.       Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU menggunakan standar pelayanan minimum (SPM) yang ditetapkan oleh menteri /pimpinan lembaga/gubernur/ bupati/ walikota.
b.       SPM dapat diusulkan oleh instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU.
c.       SPM harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.

2.    Tarif Layanan

a.       BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan.
b.       Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.
c.       Tarif layanan diusulkan oleh BLU kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya.
d.       Usul tarif layanan dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD selanjutnya ditetapkan oleh Menkeu /gubernur/ bupati/ walikota, sesuai dengan kewenangannya.
e.       Tarif layanan harus mempertimbangkan:
·         kontinuitas dan pengembanganlayanan;
·         daya beli masyarakat;
·         asas keadilan dan kepatutan; dan
·         kompetisi yang sehat.

E.    Pengelolaan Keuangan BLU

PPK-BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, diatur dalam PP No. 23 / 2005, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.

 

PERTEMUAN 10

PENGADAAN BARANG/JASA

A.    Pengertian dan Ruang Lingkup

1.    Pengertian

Pengertian pengadaan barang dan jasa secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu berarti tawaran untuk mengajukan harga dan memborong pekerjaan atas penyediaan barang/jasa. Pasal 1 angka 1 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah menentukan bahwa pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang dan jasa yang dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang dan jasa.
Setelah Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah menjelaskan Pengadaan Barang dan jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa oleh kementerian/ Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya selanjutnya disebut K/D/L/I yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang dan jasa.

2.    Ruang Lingkup

Ruang lingkup pengadaan barang dan jasa berdasarkan Pasal 2 Perpres No. 54 Tahun 2010 meliputi:
Ø  Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/ APBD.
Ø  Pengadaan untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha milik Daerah (BUMD) yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD. Investasi di sini merupakan pembelanjaan modal sebagai penambahan aset atau untuk peningkatan kapasitas instansi tersebut.
Ø  Pengadaan barang dan jasa yang seluruhnya atau sebagian dananya bersumber dari pinjaman atau hibah. Pinjaman atau hibah dalam hal ini berasal dari luar negeri yang diterima oleh pemerintah pusat atau daerah.

B.    Dasar Hukum

·         Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
·         Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
·         Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
·         Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (telah 4 kali perubahan)
·         Inpres No. 1 Tahun 2015 Tentang Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
·         Perka LKPP

C.    JENIS PENGADAAN B/J (Psl 4 Perpres 54/2010)

·         Barang. Setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh pengguna barang
·         Pekerjaan Konstruksi. Seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya
·         Jasa Lainnya. Jasa yang membutuhkan kemampuan tertentu yang mengutamakan keterampilan (skillware) dalam suatu sistem tata kelola untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan/atau penyediaan jasa selain jasa konsultansi,  pekerjaan konstruksi dan pengadaan barang.
·         Jasa Konsultasi. Jasa layanan profesional yang membutuhkan keahlian tertentu diberbagai bidang keilmuan yang mengutamakan adanya olah pikir (brainware)

D.   Tata Nilai PBJ

Prinsip Prinsip Pengadaan
Pengadaan Barang/Jasa menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. efisien;
b. efektif;
c. transparan;
d. Terbuka
e. Bersaing
f. adil/tidak diskriminatif
g. akuntabel

E.    Etika Pengadaan

Para pihak yang terkait dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa harus mematuhi etika sebagai berikut:
·         melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab  untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya  tujuan Pengadaan Barang/Jasa;
·         bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut  sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya  penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
·         tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak  langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;
·         menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang  ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;
·         menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan  kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung  maupun tidak langsung dalam proses Pengadaan Barang/Jasa;
·         menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa;
·         menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi,  golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan
·         Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan  untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat  dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.

F.    Pihak PBJ

Sesuai dengan Perpres 54/2010 dan Perpres 70/2012. Berikut keterangan tentang para pihak dalam pengadaan barang/jasa pemerintah:
·         PA – Pengguna Anggaran
·         KPA – Kuasa Pengguna Anggaran
·         ULP – Unit Layanan Pengadaan
·         PP – Pejabat Pengadaan
·         PPK – Pejabat Pembuat Komitmen
·         PPHP – Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
·         PBJ – Penyedia Barang/Jasa










PERTEMUAN 11

PENGADAAN BARANG JASA SWAKELOLA

A.    Garis Besar PBJ

Garis Besar PBJ Melalui Penyedia

`Garis Besar PBJ Melalui Swakelola

B.    PBJ Kondisi Tertentu

Menurut Undang-Undang RI No. 1 Tahun 2004 utang negera merupakan jumlah uang yang wajib dibayar pemerintah pusat maupun kewajiban pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lain yang sah. Utang luar negeri atau pinjaman luar negeri juga merupakan sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negeri tersebut.
Fungsi utang negara atau pinjaman luar negeri adalah :
1.      menutupi defisit anggaran,
2.      menutupi kekurangan kas atas kebutuhan kas jangka pendek dalam pelaksanaan belanja yang tidak dapat ditunda,
3.      dan solusi dalam penataan portofolio utang pemerintah yang tentu dimaksud untuk mengurangi beban belanja.
Selain itu, dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah Pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah harus memenuhi prinsip transparan, akuntabel, efisien dan efektif, kehati-hatian, tidak disertai ikatan politik, dan tidak memiliki muatan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan negara.

Terkait hibah, hibah yang diterima Pemerintah berbentuk uang tunai, uang untuk membiayai kegiatan, barang/jasa, dan/atau surat berharga. Menurut jenisnya penerimaan hibah terdiri atas hibah yang direncanakan, dan/atau hibah langsung. Hibah yang bersumber dari luar negeri dapat diterus hibahkan atau dipinjamkan kepada Pemda, atau dipinjamkan kepada BUMN sepanjang diatur dalam Perjanjian Hibah.
Pinjaman Luar Negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam berbentuk devisa dan /atau devisa yang dirupiahkan, rupiah ,maupun dalam bentuk barang dan/jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu
Hibah Luar Negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupaiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi hibah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali
Pengadaan Barang/Jasa yang dibiayai dana Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN) terdiri dari kegiatan :
a. Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa dengan PHLN ; dan
b. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dengan PHLN.
PA/KPA merencanakan Pengadaan Barang/Jasa dengan memperhatikan penggunaan spesifikasi teknis, kualifikasi, standar nasional dan kemampuan/potensi nasional. Dalam merencanakan Pengadaan Barang/Jasa, harus memaksimalkan penggunaan produksi dalam negeri sesuai dengan kemampuan/ potensi nasional dan standar nasional dalam hal :
1.      Studi kelayakan dan rancang bangun proyek;
2.      Penyiapan dokumen pengadaan/KAK ; dan
3.      Penyusunan HPS.
Kriteria dan tata cara evaluasi dalam Dokumen Pengadaan mencantumkan rumusan peran serta Penyedia Barang/Jasa nasional dan preferensi harga yang ditetapkan. Dalam penyusunan rancangan Kontrak, perlu dicantumkan kewajiban penggunaan produksi dalam negeri.
PPK dalam melaksanakan pekerjaan yang dibiayai dari PHLN, wajib memahami :
1.      Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri (NPPLN)/ Naskah Perjanjian Hibah Luar Negeri (NPHLN) atau dokumen kesepahaman ; dan
2.      Ketentuan-ketentuan pelaksanaan proyek Pengadaan Barang/Jasa setelah NPPLN/NPHLN disepakati Pemerintah Republik Indonesia dan pemberi pinjaman/hibah.
Pengadaan Barang/Jasa yang dibiayai oleh Lembaga Penjamin Kredit Ekspor/Kredit Swasta Asing dilakukan melalui Pelelangan/Seleksi internasional. Pengadaan Barang/Jasa harus merupakan proyek prioritas yang tercantum dalam Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Hibah Luar Negeri (DRPPHLN).
Dalam Pengadaan Barang/Jasa yang dananya bersumber dari Lembaga Penjamin Kredit Ekspor, peserta Pelelangan/Seleksi internasional memasukkan penawaran administratif, teknis, harga dan sumber pendanaan beserta persyaratannya sesuai dengan ketentuan dan norma yang berlaku secara internasional. Evaluasi penawaran sumber pendanaan dilakukan dengan metode

C.    Kriteria Tertentu PBJ

Kriteria keadaan tertentu yang memungkinkan dilaksanakannya penunjukan langsung dalam pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/ jasa lainnya adalah sebagai berikut
a.       penanganan darurat yang tidak bisa direncanakan sebelumnya dan waktu penyelesaian pekerjaannya harus segera/tidak dapat ditunda untuk: 
1)      pertahanan negara;
2)      keamanan dan ketertiban masyarakat; 
3)      keselamatan/perlindungan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda/ harus dilakukan segera, termasuk:
a)      rangka pencegahan bencana; akibat bencana alam dan/atau bencana non alam dan/atau bencana sosial;
b)      dalam  dan/atau
c)      akibat kerusakan sarana/prasarana yang dapat menghentikan kegiatan pelayanan publik;
b.      kegiatan menyangkut pertahanan negara yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan serta kegiatan yang menyangkut keamanan dan ketertiban masyarakat yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 
c.       pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) Penyedia Jasa Konsultansi; dan
d.      pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh 1 (satu) pemegang hak cipta yang telah terdaftar atau pihak yang telah mendapat izin pemegang hak cipta.

D.   PBJ TNI dan POLRI

(1)   Alat utama sistem senjata (alutsista) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang digunakan untuk kepentingan pertahanan Negara ditetapkan oleh Menteri Pertahanan berdasarkan masukan dari Panglima TNI.
(2)   Alat material khusus (almatsus) Kepolisian Negara Republik Indonesia yang digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)   Pengadaan alutsista dan almatsus dilakukan oleh industri pertahanan, industri alutsista dan industri almatsus dalam negeri.
(4)   Dalam hal alutsista dan almatsus belum dapat dibuat di dalam negeri, Pengadaan alutsista dan almatsus sedapat mungkin langsung dari pabrikan yang terpercaya.
(5)   Pabrikan Penyedia alutsista dan almatsus di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sedapat mungkin bekerja sama dengan industri dan/atau lembaga riset dalam negeri.
(6)   Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman dan tata cara Pengadaan alutsista diatur oleh Menteri Pertahanan dengan tetap berpedoman pada tata nilai pengadaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden ini.
(7)   Dalam melaksanakan Pengadaan alutsista sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini, Menteri Pertahanan dapat membentuk tim koordinasi yang terdiri dari unsur-unsur Kementerian Pertahanan, Mabes TNI/Angkatan, kementerian yang membidangi industri, riset dan teknologi serta unsur lain terkait.
(8)   Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman dan tata cara Pengadaan almatsus diatur oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tetap berpedoman pada tata nilai pengadaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden ini.
(9)   Dalam melaksanakan Pengadaan almatsus sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden ini, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat membentuk tim koordinasi yang terdiri dari unsur-unsur kementerian yang membidangi industri, riset dan teknologi serta unsur lain terkait.
(10)                                                                                                                                                                                                                                                       Penyusunan pedoman dan tata cara Pengadaan alutsista dan almatsus sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (8) dikonsultasikan kepada LKPP

E.    Pengendalian, Pengawasn, Pengaduan dan Sanksi

Pengendalian
Pasal 115 PP No 54 Tahun 2010
1.      K/L/D/I dilarang melakukan pungutan dalam bentuk apapun dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
2.      Pimpinan K/L/D/I wajib melaporkan secara berkala realisasi Pengadaan Barang/Jasa kepada LKPP.

Pengawasan
Pasal 116 PP No 54 Tahun 2010
K/L/D/I wajib melakukan pengawasan terhadap PPK dan ULP/Pejabat Pengadaan di lingkungan K/L/D/I masing masing, dan menugaskan aparat pengawasan intern yang bersangkutan untuk melakukan audit sesuai dengan ketentuan.

Pengaduan
Pasal 117 PP No 54 Tahun 2010
1.      Dalam hal Penyedia Barang/Jasa atau masyarakat menemukan indikasi penyimpangan prosedur, KKN dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan/atau pelanggaran persaingan yang sehat dapat mengajukan pengaduan atas proses pemilihan Penyedia Barang/Jasa.
2.      Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditujukan kepada APIP K/L/D/I yang bersangkutan dan/atau LKPP, disertai bukti-bukti kuat yang terkait langsung dengan materi pengaduan.
3.      APIP K/L/D/I dan LKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kewenangannya menindaklanjuti pengaduan yang dianggap beralasan.
4.      Hasil tindak lanjut pengaduan yang dilakukan oleh APIP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaporkan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan institusi, dan dapat dilaporkan kepada instansi yang berwenang dengan persetujuan Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/ Pimpinan Institusi, dalam hal diyakini terdapat indikasi KKN yang akan merugikan keuangan negara, dengan tembusan kepada LKPP dan BPKP.
5.      Instansi yang berwenang dapat menindaklanjuti pengaduan setelah Kontrak ditandatangani dan terdapat indikasi adanya kerugian negara.

Sanksi
Pasal 118 PP No 54 Tahun 2010
(1) Perbuatan atau tindakan Penyedia Barang/Jasa yang dapat dikenakan sanksi adalah:
v  berusaha mempengaruhi ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
v  melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/ atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain;
v  membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan;
v  mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat Pengadaan;
v  tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara bertanggung jawab; dan/atau
v  berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3), ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.

(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa:
a. sanksi administratif;
b. sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam;
c. gugatan secara perdata; dan/atau
d. pelaporan secara pidana kepada pihak berwenang.
(3) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan oleh PPK/ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.
(4) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan oleh PA/KPA setelah mendapat masukan dari PPK/ ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.
(5) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Apabila ditemukan penipuan/pemalsuan atas informasi yang disampaikan Penyedia Barang/Jasa, dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon pemenang dan dimasukkan dalam Daftar Hitam.
(7) Apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa, maka ULP:
a. dikenakan sanksi administrasi;
b. dituntut ganti rugi; dan/atau
c. dilaporkan secara pidana.





























PERTEMUAN 12

BARANG MILIK NEGARA

A.    Dasar Hukum BMN

Peraturan Perundang-undangan di dalam Perencanaan dan Penganggaran:
1.       UU NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA
2.       UU NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA
3.       PP NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BMN/D
4.       PP NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN PP NO 6 TAHUN 2006
5.       PP NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN BMN

B.    Asas Asas Penggunaan BMN

  1. Penggunaan Barang Milik Negara oleh Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang dibatasi hanya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga.
  2. Tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan sesuai tugas pokok dan fungsi Pengguna Barang atau Kuasa Pengguna Barang wajib diserahkan kepada Pengelola Barang.     
3.       Semua penerimaan yang berasal dari pemanfaatan dan pemindahtanganan Barang Milik Negara merupakan penerimaan negara bukan pajak yang harus disetor ke rekening kas umum negara            
4.       Penerimaan negara bukan pajak merupakan penerimaan umum.              

C.    Konsep Dasar

  1. Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib mengelola dan menatausahakan BMN/D yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
  2. BMN/D yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan.
  3. Penjualan BMN/D dilakukan dengan cara lelang, kecuali dalam hal-hal tertentu yang diatur dengan peraturan pemerintah.
  4. BMN/D yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat/Daerah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah RI/Pemda yang bersangkutan.
  5. Bangunan milik negara/daerah harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan ditatausahakan secara tertib.
  6. BMN/D dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah Pusat/Daerah.
  7. BMN/D dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman.
  8. Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap :
a.       barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
b.       barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah;
c.       barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.

D.   Ruang Lingkup BMN










E.    Siklus Pengelolaan BMN

 

 

 










PERTEMUAN 13

INVESTASI

A.    Pengertian Investasi

Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau barang dalam jangka panjang untuk investasi pembelian surat berharga dan Investasi Langsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.

B.    DASAR HUKUM

·         UUD 194
·         UU No.17 TAHUN 2003
·         UU No.1 TAHUN 2004
·         UU No. 19 TAHUN 2003
·         PP No.1 TAHUN 2008 TENTANG INVESTASI PEMERINTAH
·         PP NO.72 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN PP No.44 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENYERTAAN DAN PENATAUSAHAAN MODAL NEGARA PADA BUMN DAN PT

C.    KLASIFIKASI INVESTASI PEMERINTAH

Investasi pemerintah diklasifikasikan menjadi dua yaitu investasi jangka pendek dan investasi jangka panjang. Investasi jangka pendek merupakan kelompok aset lancar sedangkan investasi jangka panjang merupakan kelompok aset nonlancar.
Investasi jangka pendek harus memenuhi karakteristik sebagai berikut:
1.      Dapat segera diperjualbelikan/dicairkan;
2.      Investasi tersebut ditujukan dalam rangka manajemen kas, artinya pemerintah dapat menjual investasi tersebut apabila timbul kebutuhan kas;
3.      Berisiko rendah.
Dengan memperhatikan kriteria tersebut pada paragraf 10, maka pembelian surat-surat berharga yang berisiko tinggi bagi pemerintah, karena dipengaruhi oleh fluktuasi harga pasar surat berharga, tidak termasuk dalam investasi jangka pendek. Jenis investasi yang tidak termasuk dalam kelompok investasi jangka pendek antara lain adalah:
1.      Surat berharga yang dibeli pemerintah dalam rangka mengendalikan suatu badan usaha, misalnya pembelian surat berharga untuk menambah kepemilikan modal saham pada suatu badan usaha;
2.      Surat berharga yang dibeli pemerintah untuk tujuan menjaga hubungan kelembagaan yang baik dengan pihak lain, misalnya pembelian surat berharga yang dikeluarkan oleh suatu lembaga baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menunjukkan partisipasi pemerintah; atau
3.      Surat berharga yang tidak dimaksudkan untuk dicairkan dalam memenuhi kebutuhan kas jangka pendek.
Investasi yang dapat digolongkan sebagai investasi jangka pendek, antara lain terdiri atas:
1.      Deposito berjangka waktu tiga sampai dua belas bulan dan/atau yang dapat diperpanjang secara otomatis (revolving deposits);
2.      Pembelian Surat Utang Negara (SUN) pemerintah jangka pendek oleh pemerintah pusat maupun daerah dan pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Investasi jangka panjang dibagi menurut sifat penanaman investasinya, yaitu permanen dan nonpermanen. Investasi Permanen adalah investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki secara berkelanjutan, sedangkan Investasi Nonpermanen adalah investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan.
Pengertian berkelanjutan adalah investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki terus menerus tanpa ada niat untuk memperjualbelikan atau menarik kembali. Sedangkan pengertian tidak berkelanjutan adalah kepemilikan investasi yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, dimaksudkan untuk tidak dimiliki terus menerus atau ada niat untuk memperjualbelikan atau menarik kembali.
Investasi permanen yang dilakukan oleh pemerintah adalah investasi yang tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan, tetapi untuk mendapatkan dividen dan/atau pengaruh yang signifikan dalam jangka panjang dan/atau menjaga hubungan kelembagaan. Investasi permanen dapat berupa:
1.      Penyertaan Modal Pemerintah pada perusahaan negara/daerah, badan internasional dan badan usaha lainnya yang bukan milik negara;
2.      Investasi permanen lainnya yang dimiliki oleh pemerintah untuk menghasilkan pendapatan atau meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Investasi nonpermanen yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain dapat berupa:
1.      Pembelian obligasi atau surat utang jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki sampai dengan tanggal jatuh temponya oleh pemerintah;
2.      Penanaman modal dalam proyek pembangunan yang dapat dialihkan kepada pihak ketiga;
3.      Dana yang disisihkan pemerintah dalam rangka pelayanan masyarakat seperti bantuan modal kerja secara bergulir kepada kelompok masyarakat;
4.      Investasi nonpermanen lainnya, yang sifatnya tidak dimaksudkan untuk dimiliki pemerintah secara berkelanjutan, seperti penyertaan modal yang dimaksudkan untuk penyehatan/penyelamatan perekonomian.
Penyertaan modal pemerintah dapat berupa surat berharga (saham) pada suatu perseroan terbatas dan non surat berharga yaitu kepemilikan modal bukan dalam bentuk saham pada perusahaan yang bukan perseroan.
Investasi permanen lainnya merupakan bentuk investasi yang tidak bisa dimasukkan ke penyertaan modal, surat obligasi jangka panjang yang dibeli oleh pemerintah, dan penanaman modal dalam proyek pembangunan yang dapat dialihkan kepada pihak ketiga, misalnya investasi dalam properti yang tidak tercakup dalam pernyataan ini.
Akuntansi untuk investasi pemerintah dalam properti dan kerjasama operasi akan diatur dalam standar akuntansi tersendiri.

D.   JENIS INVESTASI PEMERINTAH

Investasi Langsung adalah penyertaan modal dan/atau pemberian pinjaman oleh badan investasi pemerintah untuk membiayai kegiatan usaha.
a.      Penyertaan Modal adalah bentuk Investasi Pemerintah pada Badan Usaha dengan mendapat hak kepemilikan, termasuk pendirian Perseroan Terbatas dan/atau pengambilalihan Perseroan Terbatas.
b.      Pemberian Pinjaman adalah bentuk Investasi Pemerintah pada Badan Usaha, Badan Layanan Umum (BLU), Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dengan hak memperoleh pengembalian berupa pokok pinjaman, bunga, dan/atau biaya lainnya.

E.    PELAKSANA INVESTASI

1.      Badan Usaha adalah Badan Usaha swasta berbentuk Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan Koperasi.
2.      Badan Investasi Pemerintah adalah unit pelaksana investasi sebagai satuan kerja yang mempunyai tugas dan tanggung jawab pelaksanaan Investasi Pemerintah atau badan hukum yang lingkup kegiatannya di bidang pelaksanaan Investasi Pemerintah, berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

F.    SUMBER DANA INVESTASI PEMERINTAH

1.      Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
2.      keuntungan investasi terdahulu;
3.      dana/barang amanat pihak lain yang dikelola oleh Badan Investasi Pemerintah;
4.      sumber-sumber lainnya yang sah.


Menteri Keuangan selaku pengelola Investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab:
1.      merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan Investasi Pemerintah;
2.      menetapkan kriteria pemenuhan perjanjian dalam pelaksanaan Investasi Pemerintah; dan
3.      menetapkan tata cara pembayaran kewajiban yang timbul dari proyek penyediaan Investasi Pemerintah dalam hal terdapat penggantian atas hak kekayaan intelektual, pembayaran subsidi, dan kegagalan pemenuhan Perjanjian Investasi.

Dalam rangka pelaksanaan kewenangan operasional Investasi Pemerintah, Menteri Keuangan berwenang dan bertanggung jawab:
  1. mengelola Rekening Induk Dana Investasi;
  2. meneliti dan menyetujui atau menolak usulan permintaan dana Investasi Pemerintah dari Badan Usaha, BLU, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, BLUD, dan/atau badan hukum asing;
  3. mengusulkan rencana kebutuhan dana Investasi Pemerintah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  4. menempatkan dana atau barang dalam rangka Investasi Pemerintah;
  5. melakukan Perjanjian Investasi dengan Badan Usaha terkait dengan penempatan dana Investasi Pemerintah;
  6. melakukan pengendalian atas pengelolaan risiko terhadap pelaksanaan Investasi Pemerintah;
  7. mengusulkan rekomendasi atas pelaksanaan Investasi Pemerintah;
  8. mewakili dan melaksanakan kewajiban serta menerima hak pemerintah yang diatur dalam Perjanjian Investasi;
  9. menyusun dan menandatangani Perjanjian Investasi;
  10. mengusulkan perubahan Perjanjian Investasi;
  11. melakukan tindakan untuk dan atas nama pemerintah apabila terjadi sengketa atau perselisihan dalam pelaksanaan Perjanjian Investasi;
  12. melaksanakan Investasi Pemerintah dan Divestasinya;
  13. apabila diperlukan, dapat mengangkat dan memberhentikan Penasihat Investasi.

SYARAT INVESTASI PEMBELIAN SAHAM
  1. Investasi dengan cara pembelian saham dapat dilakukan atas saham yang diterbitkan perusahaan.
  2. Investasi dengan cara pembelian surat utang dapat dilakukan atas surat utang yang diterbitkan perusahaan, pemerintah, dan/atau negara lain.
  3. Pelaksanaan investasi didasarkan pada penilaian kewajaran harga surat berharga yang dapat dilakukan oleh Penasihat Investasi.
  4. Pelaksanaan investasi dengan cara pembelian surat utang hanya dapat dilakukan apabila penerbit surat utang memberikan opsi pembelian surat utang kembali.

PERTEMUAN 14

KEUANGAN DAERAH

A.    Pengertian

Dalam Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000, menyebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewjiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang temasuk didalamnya segala bentuk kekayaan lain yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD.

Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan tersebut, keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan dikeluarkannya undang-undang tentang Otonomi Daerah, membawa konsekuensi bagi daerah yang akan menimbulkan perbedaan antar daerah yang satu dengan yang lainnya, terutama dalam hal kemampuan keuangan daerah, antara lain (Nataluddin, 2001:167):

·         Daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerah.
·         Daerah yang mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah.
·         Daerah yang sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah dan 
·         Daerah yang kurang mampu melaksanakan urusan otonomi daerah


Selain itu ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah sebagai berikut (Nataluddin, 2001:167):

·         Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya.
·         Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.


Berkaitan dengan hakekat otonomi daerah yaitu berkaitan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, maka peranan data keuangan daerah sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar balanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk melihat kemampuan / kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)

Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, walaupun pengukuran kemampuan keuangan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Paul Hersey dan Kenneth Blanchard memperkenalkan “Hubungan Situasional” dalam pelaksanaan otonomi daerah (dalam Nataluddin, 2001:168-169) :
·         Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah puasat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah)
·         Pola Hubungan Konsultif, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi.
·         Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.
·         Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.

Bertolak dari teori tersebut, karena adanya potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda, akan terjadi pula perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah.

B.    Pengelolaan Penerimaan Daerah 

Menurut UU No. 32 tahun 2004 pasal 157 dan UU No. 33 tahun 2004 pasal 6, serta PP No. 105 tahun 2000 dan PP No 64 tahun 2000, sumber-sumber penerimaan dapat diperinci sebagai berikut:

A.    Pendapatan Asli Daerah (PAD) 
Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber keuangan yang digali dari dalam wilayah yang bersangkutan. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari :
1.      Pajak Daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2001 tentang pajak daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah yang selanjutnya disebut dengan pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
2.      Retribusi Daerah, menurut Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah, yang dimaksud dengan retribisi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atau jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
3.      Hasil Perusahaan Milik Daerah, merupakan  hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan antara lain bagian laba, deviden dan penjualan saham milik daerah.
4.       Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain hasil penjualan asset negara dan jasa giro.


B.     Dana Perimbangan 

Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan tersebut saling mengisisi dan melengkapi. Adapun pos-pos dana perimbangan tersebut terdiri dari :

·         Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari Sumber Daya Alam seperti : kehutanan, perikanan, pertambangan, minyak dan gas.
·         Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. (UU No. 33 pasal 1 ayat 2)
·         Dana Alokasi Khusus  adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. (UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 23).

Langkah-langkah yang dapat dilaksanakan agar pendapatan daerah dapat ditingkatkan antara lain sebagai berikut (dalam Nirzawan, 2001:75):
a. Intensifikasi, dilaksanakan antara lain dengan cara sebagai berikut :
·         Melaksanakan tertib penetapan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak, tertib dalam pemungutan kepada wajib pajak, tertib dalam administrasi serta tertib dalam administrasi serta tertib dalam penyetoran.
·         Melaksanakan secara optimal pemungutan pajak dan retribusi daerah sesuai dengan potensi yang obyektif berdasarkan peraturan yang berlaku.
·         Melakukan pengawasan dan pengendalian secara sistematis dan kontinyu (berkelanjutan) untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan pemungutan di lapangan oleh petugas.
·         Membentuk tim satuan tugas (satgas) pada dinas terkait yng bertugas mengawasi pemungutan di lapangan oleh petugas.
·         Memberikan insentif (rangsangan)secara khusus kepada aparat pengelola PAD yang dapat melampui penerimaan dari target yang telah ditetapkan.
·         Mengadakan pendekatan persuasif kepada wajib pajak agar memenuhi kewajibannya melalui kegiatan penyuluhan.
·         Melakukan langkah-langkah pengendalian lain guna menghindari timbulnya penyimpangan terhadap pelaksanaan peraturan daerah mengenai pengelolaan maupun penetapan pajak dan retribusi daerah.


b. Ekstensifikasi, dilaksanakan dengan cara antara lain sebagai berikut:
·         Menyusun program kebijakan dan strategi pengembangan dan menggali obyek pungutan baru yang potensial dengan lebih memprioritaskan kepada retribusi daerah untuk ditetapkan dan dijabarkan dalam peraturan daerah.
·         Meninjau kembali ketentuan tarif dan pengembangan sasaran sesuai dengan peraturan daerah yang ada dan mengkaji ulang peraturan daerah untuk diajukan perubahan. 
·         Mengadakan studi banding ke daerah lain guna mendapat informasi terhadap jenis-jenis penerimaan pajak dan retribusi lain yang memungkinkan untuk dikembangkan.

C.    Pengelolaan Pengeluaran Daerah 

Dalam Peraturan pemerintah No. 105 tahun 2000, menyebutkan bahwa Pengeluaran Daerah adalah semua pengeluaran kas daerah periode tahun anggaran yang bersangkutan yang meliputi belanja rutin (operasional), belanja pembangunan (belanja modal) serta pengeluaran tidak disangka.

a.    Belanja Rutin 
Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan menambah asset / kekayaan bagi daerah. Belanja rutin terdiri dari :
1)  Belanja administrasi dan umum :
  • Belanja pegawai
  • Belanja barang
  • Belanja perjalanan dinas
  • Belanja pemeliharaan
2)  Belanja operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana

b.    Belanja Investivasi / Pembangunan 
Belanja investasi adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset / kekayaan daerah, dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya. Belanja investasi terdiri dari :
·         Belanja publik. Belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Belanja publik merupakan belanja modal (capital expenditure) yang berupa investasi fisik (pembangunan infrastruktur) yang mempunyai nilai ekonomis lebih dari satu tahun dan mengakibatkan terjadinya penambahan asset daerah.
·         Balanja aparatur adalah belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Belanja aparatur menyebabkan terjadinya penambahan aktiva tetap dan aktiva tidak lancar lainnya. Belanja aparatur diperkirakan akan memberikan manfaat pada periode berjalan dan periode yang akan datang.
·         Pengeluaran transfer adalah pengalihan uang dari pemerintah daerah dengan kriteria :
·         Tidak menerima secara langsung imbalan barang dan jasa seperti layaknya terjadi transaksi pembelian dan penjualan.
·         Tidak mengharapkan dibayar kembali dimasa yang akan datang, seperti yang diharapkan pada suatu pinjaman.
·         Tidak mengharapkan adanya hasil pendapatan, seperti layaknya yang diharapkan pada suatu investasi.
 Pengeluaran transfer ini terdiri dari atas : angsuran pinjaman, dana bantuan dana cadangan.

c.    Pengeluaran Tidak Tersangka
Pengeluaran tidak tersangka adalah yang disediakan untuk pembiayaan :
·         Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, kejadian yang dapat membahayakan daerah.
·         Tagihan tahun lalu yang belum diselesaikan dan atau tidak tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan.
·         Pengambilan penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan yang dibebaskan (dibatalkan) dan atau kelebihan penerimaan.

Pengeluaran daerah tersebut harus dikelola dengan memperhatikan beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan antara lain (Nirzawan,2001:77):


a.    Akuntabilitas 
Akuntabilitas pengeluaran daerah adalah kewajiban pemerinta daerah untuk memberikan pertanggung jawaban, menyajikan dan melaporkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan penggunaan uang publik kepada pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta  pertanggung jawaban tersebut (DPRD dan masyarakat luas). Aspek penting yang harus dipertimbangkan oleh para manajer daerah adalah :
·         Aspek legalitas pengeluaran daerah yaitu setiap transaksi pengeluaran yang dilakukan harus dapat dilacak otoritas legalnya.
·         Pengelolaan (stewardship) atas pengeluaran daerah yang baik, perlindungan asset fisik dan financial, mencegah terjadinya pemborosan dan salah urus.

Prinsip-prinsip akuntabilitas pengeluaran daerah  :
·         Adanya sistem akuntansi dan sistem anggaran yang dapat menjamin bahwa pengeluaran daerah dilakukan secara konsistensi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·         Pengeluaran daerah yang dilakukan dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
·         Pengeluaran daerah yang dilakukan dapat berorientasi pada pencapaian visi, misi, hasil dan manfaat yang akan diperoleh.

b.    Value of Money
Pengeluaran daerah harus mendasarkan konsep value of money, yaitu :
·         Ekonomi, adalah hubungan antara pasar (nilai uang) dan masukan (input). Ekonomi adalah pembelian barang dan jasa pada kualitas yang diinginkan dan pada harga terbaik yang memungkinkan. Pengertian ekonomi sebaiknya mencakup juga pengeluaran daerah yang berhati-hati atau cermat dan penggunaan keuangan daerah secara optimal tanpa pemborosan (tepat guna). Suatu kegiatan operasional dikatakan ekonomis apabila dapat menghilangkan atau mengurangi biaya yang dianggap tidak perlu. Dengan demikian pada hakekatnya ada pengertian yang serupa antara efisiensi dan ekonomi, karena kedua-keduanya menghendaki penghapusan dan penurunan biaya.
·         Efisiensi, berhubungan erat dengan konsep efektivitas, yaitu rasio yang membandingkan antara output yang dihasilkan terhadap input yang digunakan. Proses kegiatan operasional dapat dikatakan dilakukan secara efisiensi apabila suatu target kinerja tertentu dapat dicapai dengan menggunakan sumber daya dan biaya yang serendah-rendahnya.
·         Efektivitas, merupakan kaitan atau hubungan antara keluaran suatu pusat pertanggung jawaban dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapainya. Efektivitas dalam Pemerintah Daerah dapat diartikan penyelesaian kegiatan tepat pada waktunya dan didalam batas anggaran yang tersedia, dapat berarti pula mencapai tujuan dan sasaran seperti apa yang telah direncanakan. Namun demikian, walaupun ada yang dilaksanakan menyimpang dari rencana semula, tetapi mempunyai dampak yang menguntungkan pada kelompok penerima sasaran manfaat, maka dapat dikatakan efektif. Semakin besar kontribusi pengeluaran yang dilakukan terhadap nilai pencapaian tujuan atau sasaran yang ditentukan dapat dikatakan efektif proses kerja dari unit kerja dimaksud





PERTEMUAN 15

PENGAWASAN, PEMERIKSAAN  PENGELOLAAN DAN TANGGUNGJAWAB KEUANGAN NEGARA

A.    Dasar Hukum

1.      Pasal 23E ayat 1 untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu BADAN PEMERIKSA KEUANGAN yang bebas dan mandiri.
2.      UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR  15  TAHUN 2004 TENTANG  PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA
3.      UU No.15 TAHUN 2006 TENTANG BPK
4.      Peraturan Kepala BPK Nomor 3 tahun 2007 tentang TATA CARA PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA TERHADAP BENDAHARA
5.      Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.01/2009  tentang PEDOMAN PENYELESAIAN GANTI KERUGIAN NEGARA TERHADAP BENDAHARA
6.      Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 508/KMK.01/1999 tentang PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA BUKAN KEKURANGAN PERBENDAHARAAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KEUANGAN

B.    Pengertian Pemeriksa dan Pemeriksaan

Pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK.
Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
1.      Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan.
2.      Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan  negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas.
3.      Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan kinerja.

C.    Lingkup Pemeriksaan

1.      Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara.
2.      BPK melaksanakan pemeriksaan  atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
3.      Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan  negara  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
4.      Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.

D.   Standar Pemeriksaan

Ø  Patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi
F   Standar Umum,
F   Standar Pelaksanaan Pemeriksaan,
F   Standar Pelaporan
Ø  yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau Pemeriksa.

E.    Pemeriksa

q  B P K
q  AKUNTAN PUBLIK/APIP  (penugasan)

F.    Pelaksanaan Pemeriksaan

Ø  Penentuan objek pemeriksaan,
Ø  Perencanaan;
Ø  Pelaksanaan pemeriksaan;
Ø  Penentuan waktu;
Ø  Metode pemeriksaan
Ø  Penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK

G.   Hasil Pemeriksaan

1.      Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini.
2.      Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.
3.      Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.
4.      Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil pemeriksaan.

H.   Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat dan Pemda

1.      Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya  2 (dua) bulan setelah menerima laporan  keuangan dari pemerintah pusat.
2.      Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD  selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah.
3.      Laporan hasil pemeriksaan LKPP/LKPD disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
4.      Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya.
5.      Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya.
6.      Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

I.     Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan

1.      Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
2.      Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
3.      Jawaban atau penjelasan PEJABAT disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.
4.      BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan.
5.      Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
6.      BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester.



PERTEMUAN 16

KETENTUAN PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF, DAN GANTI RUGIUU Keuangan Negara

A.    KETENTUAN PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF, DAN GANTI RUGI

Pasal 34
1.      Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
2.      Pimpinan Unit Organisasi Kementrian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangka Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undangundang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
3.      Presiden memberi sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan undang-undang kepada pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.

B.    UU Perbendaharaan Negara

Pasal 64
1.      Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
2.      Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.

C.    UU PPTKN

KETENTUAN PIDANA
Pasal 24
1.      Setiap orang yang dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban menyerahkan dokumen dan/atau menolak memberikan keterangan yang diperlukan untuk kepentingan kelancaran pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
2.      Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, dan/atau menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
3.      Setiap orang yang menolak pemanggilan yang dilakukan oleh BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tanpa menyampaikan alasan penolakan secara tertulis dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
4.      Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan atau membuat palsu dokumen yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 25
1.      Setiap pemeriksa yang dengan sengaja mempergunakan dokumen yang diperoleh dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 melampaui batas kewenangannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2.      Setiap pemeriksa yang menyalahgunakan kewenangannya sehubungan dengan kedudukan dan/atau tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan /atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 26
1.      Setiap pemeriksa yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan pemeriksaan yang mengandung unsur pidana yang diperolehnya pada waktu melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam ) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
2.      Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 ( satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

D.   Pengertian Pertanggungjawaban Formal

Kamus Besar Bahasa Indonesia :
1.      Tanggung Jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb)
2.      Formal adalah sesuai dengan peraturan yg sah
3.      Tanggung jawab formal adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya sesuai dengan peraturan yang sah yang kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, atau diperkarakan.


E.    Pengertian Pertanggungjawaban Materiil

Kamus Besar Bahasa Indonesia:
1.      Tanggung Jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb)
2.      Materiil adalah bersifat fisik (kebendaan)
3.      Tanggung Jawab Materiil adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya yang bersifat fisik yang kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, atau diperkarakan.

F.    Tanggungjawab PA/KPA

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 2013
PASAL 4 : Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA bertanggung jawab secara formal dan materiil kepada Presiden atas pelaksanaan kebijakan anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang dikuasainya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
1.      Tanggungjawab Formal adalah tanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya.
2.      Tanggungjawab Materiil adalah tanggung jawab atas penggunaan anggaran dan hasil yang dicapai atas beban anggaran negara

G.   Tanggungjawab KPA

KPA bertanggung jawab secara formal dan materiil kepada PA atas pelaksanaan Kegiatan yang berada dalam penguasaannya.
1.      Tanggungjawab Formal merupakan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang KPA
2.      Tanggungjawab Materiil merupakan tanggung jawab atas penggunaan anggaran dan keluaran (output) yang dihasilkan atas beban anggaran negara.

H.   Aspek Hukum “Perbuatan” Pejabat Perbendaharaan

1.      Hukum Administrasi Negara adalah seluruh aturan yang mengatur bagaimana alat dan badan pemerintahan hendak memenuhi tugasnya. (JHP Beltefroid)
Azas-azas Hukum Administrasi Negara :
  1. Azas Yuridikitas (rechtmatigheid), merupakan setiap tindakan pejabat administrasi negara tidak boleh melanggar hukum.
  2. Azas Legalitas (wetmatigheid), merupakan setiap tindakan pejabat administrasi negara harus ada dasar hukumnya.
  3. Asas Diskresi, kebebasan dari seorang pejabat administrasi negara untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri tetapi tidak bertentangan dengan legalitas.
2.      Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang lainnya dalam hubungan hukumnya.
Contoh : PPK menandatangani Kontrak dengan Penyedia Barang Jasa.
3.      Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan2 yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. (Prof.Dr.H.Muchsin, SH)

I.     Tindak Pidana Korupsi

      UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU 20 tahun 2001 Pasal 2 sampai dengan pasal 12, pasal 15
      UU  Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pasal 2, pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal 8, pasal 10.
Kamus Besar Bahasa Indonesia:
Korupsi  adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Berdasarkan Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo UU nomor 20 Tahun 2001, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:
      Pasal 2 ayat (1) “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
      Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Yang dimaksud setiap orang adalah :
      Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang kepegawaian;
      Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
      Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;
      Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

      Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas termasuk setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi.